Gini Ratio (Ketidakmerataan) Indonesia Tahun 2025 serta Perbandingannya dengan Negara Lain

Gini Ratio (Ketidakmerataan) Indonesia Tahun 2025

Rasio Gini adalah salah satu alat untuk mengukur ketidakmerataan yang didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada. (DPR)
“Badan Pusat Statistik sebagai lembaga resmi penyedia statistik dasar di Indonesia, menggunakan rasio gini untuk mengukur ketimpangan pengeluaran masyarakat sebagai pendekatan tidak langsung untuk melihat ketidakmerataan pendapatan masyarakat. Memang tidak dipungkiri bahwa untuk mendapatkan data pendapatan masyarakat yang akurat sangatlah sulit di lapangan karena seringkali rumah tangga cenderung menberikan data pendapatan lebih rendah dari sebenarnya yang diperoleh dan merupakan sesuatu yang tabu bagi masyarakat Indonesia umumnya memberikan data pendapatannya yang menurut mereka adalah rahasia untuk diketahui orang lain (petugas) sehingga data pendapatan yang diperoleh under estimate.” (Fajar, 2019). Lebih lanjut (Fajar, 2019) menjabarkan rumusan alternatif untuk mengukur gini rasio pendapatan berdasarkan gini rasio pengeluaran pada tulisannya, karena pada sesungguhnya pendapatan dan pengeluaran adalah dua hal yang sangat berbeda.

Rini et al (2022) memaparkan rumus Gini Ratio untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran sebagai proksi pendapatan, yaitu:

Hal ini sejalan dengan definisi World Bank yaitu Indeks Gini mengukur sejauh mana distribusi pendapatan (atau, dalam beberapa kasus, pengeluaran konsumsi) di antara individu atau rumah tangga dalam suatu perekonomian menyimpang dari distribusi yang benar-benar merata. Kurva Lorenz memplot persentase kumulatif dari total pendapatan yang diterima terhadap jumlah penerima secara kumulatif, dimulai dari individu atau rumah tangga termiskin. Indeks Gini mengukur luas area antara kurva Lorenz dan garis hipotetis kesetaraan sempurna, yang dinyatakan sebagai persentase dari luas maksimum di bawah garis tersebut.
Data penghitungan gini ratio world bank bersumber dari survei rumah tangga primer yang dikumpulkan oleh lembaga statistik pemerintah dan departemen negara Bank Dunia. Data mengenai distribusi pendapatan atau konsumsi berasal dari survei rumah tangga yang mewakili secara nasional. Jika data asli dari survei rumah tangga tersedia, data tersebut digunakan untuk menghitung proporsi pendapatan atau konsumsi per kuintil. Jika tidak, proporsi tersebut diperkirakan dari data kelompok terbaik yang tersedia. Data distribusi telah disesuaikan dengan ukuran rumah tangga untuk memberikan ukuran yang lebih konsisten atas pendapatan atau konsumsi per kapita. Tahun yang ditampilkan mencerminkan tahun pengumpulan data survei rumah tangga yang mendasari, atau bila periode pengumpulan data mencakup dua tahun kalender, tahun dimulainya pengumpulan data.
Koefisien Gini atau Gini Ratio merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan secara agregat. Nilainya berada pada rentang 0 hingga 1, di mana angka 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 menggambarkan ketimpangan sempurna, atau dapat pula dalam bentuk persentase 0-100. Secara lebih intuitif, gini ratio menunjukkan rata-rata proporsi pendapatan atau konsumsi yang perlu dipindahkan antara dua individu yang dipilih secara acak untuk mencapai kesetaraan. Nilai gini ratio dapat diinterpretasikan berdasarkan kategori berikut : (Anas et al, 2020)
GR < 0,4 : Ketimpangan rendah
0,4 < GR < 0,5 : Ketimpangan sedang
GR > 0,5 : Ketimpangan tinggi

Bank Dunia bekerja sama dengan Institute of Development Studies menentukan kiteria tentang penggolongan pembagian pendapatan, apakah dalam keadaan ketimpangan yang parah, sedang atau ringan. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa (Chenery,1975 dalam Syamsuddin, 2011):
a) Jika suatu negara mempunyai 40% penduduk yang berpendapatan terendah dan memperoleh sekitar kurang dari 12% jumlah pendapatan negara, maka hal tersebut termasuk dalam keketimpangan yang tinggi.
b) Bila suatu negara mempunyai 40% penduduk berpendapan terendah, tetapi jumlah pendapatan yang diterima antara 12% -17% dari seluruhpendapatan negara, maka negara tersebut digolongkan sebagai negara dengan ketimpangan sedang.
c) Jika suatu negara mempunyai 40% penduduk berpendapatan terendah, tetapi jumlah pendapatan yang diterima lebih dari 17 % dari total pendapatan negara, maka ketimpangan negara tersebut termasuk rendah.

Contoh : 
Pada tahun 2022 (September), koefisien Gini di Indonesia sekitar 0,38, Hal ini berarti bahwa distribusi pengeluaran di Indonesia tergolong dalam ketimpangan sedang. Dengan kata lain, distribusi pengeluaran di Indonesia menyimpang 38,4% dari kondisi ideal (garis lurus 45° di kurva Lorenz).
Ilustrasi, (bukan angka BPS murni) : Jika dibagi 5 kelompok penduduk (kuintil)
20% termiskin → hanya menguasai ±7% pengeluaran.
20% kedua → ±11%.
20% ketiga → ±15%.
20% keempat → ±22%.
20% terkaya → ±45%.

Dari data itu, dibuat kumulatif XXX dan YYY, lalu dihitung dengan rumus di atas. Jadi, nilai 0,384 berasal dari penjumlahan proporsi pengeluaran kumulatif penduduk, menunjukkan bahwa distribusi pengeluaran di Indonesia relatif timpang, meski tidak ekstrem.

Kasus 1: Pemerataan sempurna (Gini = 0) garis lurus 45° pada kurva Lorenz
Ada 10 orang, dan tersedia 10 potong kue, maka setiap orang mendapat 1 potong. Kalau kita hitung:
10% orang → 10% kue
20% orang → 20% kue
50% orang → 50% kue
100% orang → 100% kue
Kasus 2: Ada ketimpangan (misalnya Gini ≈ 0,38)
Ada 10 orang, tapi pembagian kue tidak rata:
4 orang termiskin → masing-masing cuma dapat setengah remah (total 2 potong).
3 orang menengah → masing-masing dapat 1 potong (total 3 potong).
2 orang agak kaya → masing-masing dapat 1,5 potong (total 3 potong).
1 orang terkaya → sendiri makan 2 potong.
Total tetap 10 potong, tapi distribusinya timpang.
40% orang termiskin hanya dapat ±20% kue.
20% orang terkaya dapat ±30% kue.
Kalau diplot ke Kurva Lorenz, garisnya akan melengkung di bawah garis 45°

Pada Maret 2025, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio adalah sebesar 0,375. Angka ini menurun 0,006 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2024 yang sebesar 0,381 dan menurun 0,004 poin jika dibandingkan dengan gini ratio Maret 2024 yang sebesar 0,379. Berikut gini rasio menurut provinsi :
Berdasarkan gambar tersebut, DKI Jakarta kini memegang predikat provinsi paling timpang di Indonesia, dengan rasio gini menanjak ke 0,44 meski kemiskinan turun, menandakan kesenjangan antara kaya dan miskin kian menganga. 
Gini ratio di daerah perkotaan pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,395 dan daerah perdesaan pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,299, Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran di wilayah perkotaan jauh lebih besar dibandingkan perdesaan, menandakan distribusi pendapatan/kemakmuran di kota lebih tidak merata daripada di desa. Kalau dilihat dari nilai gini perkotaan dan pedesaan masing-masing provinsi juga menunjukkan bahwa gini ratio di wilayah perkotaan umumnya memang lebih tinggi daripada di pedesaan. (BPS)
Indonesia mengalami lonjakan ketimpangan pada awal 2010-an, kemudian berhasil menurunkannya secara perlahan. Meski tren 2020-2025 relatif stabil, ketimpangan belum kembali ke level pra-2009.

Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, pada Maret 2025, distribusi pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,65 persen. Jika dirinci berdasarkan daerah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 17,64 persen. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 21,75 persen. Dari seluruh pengeluaran masyarakat Indonesia, hanya 18,65 % yang dibelanjakan oleh 40 % penduduk termiskin. Meskipun dengan angka tersebut Indonesia termasuk ke dalam ketimpangan rendah, namun hal tersebut masih jauh dari kondisi ideal yang diinginkan.
Data gini rasio semua negara tahun 2025 cukup terbatas, sehingga perbandingan gini rasio didasarkan tahun 2024, meskipun masih terdapat beberapa negara yang tidak tersedia datanya. 
Berdasarkan ourworld in data menunjukkan Indonesia berada di kelompok menengah, sedikit di atas rata-rata global. Ini berarti ketimpangan pendapatan di Indonesia lebih tinggi daripada banyak negara Eropa. 
Kemudian secara lebih rinci sebagai berikut :
Indonesia berada pada peringkat ke-55, mirip dengan Filipina dan lebih timpang dari negara Thailand, kemudian negara dengan ketimpangan paling rendah adalah Slowakia. Indonesia berada di posisi menengah global, artinya ketimpangan pendapatannya jauh lebih baik dibanding negara Amerika Latin atau sebagian besar Afrika, tetapi juga belum se-merata negara-negara Eropa.

Terima kasih telah membaca, semoga bermanfaat, kalau ada kritik saran dan perbaikan silakan sampaikan melalui komentar atau email penulis yang tertera pada laman "About" blog.

Referensi :
Anas, M., Riani, L. P., & Lianawati, D. (2020, August). Potret Ketimpangan Distribusi Pendapatan Di Indonesia Tahun 2018 Dengan Indikator Rasio Gini, Kurva Lorentz, dan Ukuran Bank Dunia. In Prosiding Seminar Nasional Manajemen, Ekonomi, dan Akuntansi (SENMEA) (Vol. 4, No. 1, pp. 72-83). Fakultas Ekonomi Universitas Nusantara PGRI Kediri.
berkas.dpr.go.id
bps.go.id
Fajar, Muhammad. (2019). Rasio Gini (Pendapatan Versus Pengeluaran Konsumsi). 10.13140/RG.2.2.19704.49921.
ourworldindata.org
Rini, G. A. M. C., Suciptawati, N., & Ari Utari, I. A. (2022). Identifikasi faktor yang memengaruhi gini ratio di Indonesia. E-Jurnal Matematika, 11 (3), 160–166.

0 comments:

Post a Comment