Gini rasio dapat mengukur ketimpangan suatu wilayah, sehingga menjadi salah satu indikator penting. Penjelasan lengkap terkait gini rasio dapat dibaca pada tulisan sebelumnya yang berjudul Gini Ratio (Ketidakmerataan) Indonesia Tahun 2025 serta Perbandingannya dengan Negara Lain
Kali ini saya akan membahas beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menghitung gini rasio karena akan berdampak pada hasil dan interpretasi nilai gini ratio, sumber utama pembahasan kali ini berasal dari jurnal "Gini Ratios: Some Considerations Affecting
Their Interpretation" oleh Richard A. Benson.
(1) Jumlah kelompok pengeluaran atau pendapatan
(2) Distribusi observasi di dalam setiap kelompok
(3) Aggregation Bias
Benson (1970) menekankan bahwa meskipun gini ratio merupakan ukuran ketimpangan yang populer, nilai tersebut tidak bisa langsung diinterpretasikan tanpa memahami konteks data, metode penghitungan, dan struktur distribusi di baliknya. Ketepatan dan keterbandingan koefisien gini sangat bergantung pada bagaimana data dasarnya disusun dan diagregasikan. Secara khusus, ada dua faktor yang perlu mendapat perhatian: (1) bias sel (baik di dalam sel maupun antar sel) dan (2) bias agregasi.
(1) Jumlah kelompok pengeluaran atau pendapatan
Benson (1970) menyoroti bahwa jumlah kelompok (atau “sel”) yang digunakan dalam perhitungan gini ratio memiliki pengaruh langsung terhadap nilai yang dihasilkan. Idealnya, distribusi sebaiknya dibagi ke dalam sebanyak mungkin kelompok, bahkan satu kelompok untuk setiap observasi agar tidak ada informasi mengenai variasi pendapatan yang hilang. Ketika jumlah kelompok berkurang, nilai Gini cenderung terestimasi lebih rendah, karena kurva Lorenz menjadi lebih halus dan kurang mampu menangkap ketimpangan di dalam kategori yang luas tersebut. Akibatnya, studi yang menggunakan jumlah kelompok pendapatan lebih sedikit dapat menghasilkan nilai Gini yang lebih rendah karena agregasi data menyembunyikan variasi yang ada di dalam populasi.
Jika sebagian besar populasi terkonsentrasi dalam satu kategori pendapatan, maka banyak detail mengenai distribusi keseluruhan akan hilang, nilai Gini yang dihitung dapat tampak lebih kecil daripada kenyataannya. Hal ini terjadi karena perhitungan Gini mengasumsikan bahwa semua individu dalam satu kelompok memiliki tingkat pendapatan atau pengeluaran yang sama, yang pada akhirnya menghapus variasi di dalam kelompok (intra group variation). Sebagai contoh, jika 50% populasi berada dalam kelompok pendapatan tertinggi, nilai Gini mungkin secara keliru menunjukkan adanya kesetaraan dalam kelompok tersebut, padahal sebenarnya terdapat perbedaan yang besar di antara individu-individu di dalamnya.
(3) Aggregation Bias
Selain cell bias, Benson menjelaskan bahwa bias agregasi (aggregation bias) juga dapat muncul ketika data dari beberapa wilayah atau kelompok digabungkan untuk membentuk satu distribusi yang lebih besar (misalnya, dari tingkat provinsi menjadi nasional). Ketika distribusi pendapatan antar wilayah sangat heterogen, penggabungan tersebut dapat menghasilkan Gini ratio yang tidak merepresentasikan ketimpangan di wilayah manapun. Akibatnya, interpretasi peringkat Gini antarwilayah (ordinal ranking) dapat menyesatkan bila tanpa mempertimbangkan perbedaan rata-rata pendapatan, skala ekonomi, atau rentang nilai distribusi di setiap wilayah.
Mengabaikan aspek-aspek ini dapat menimbulkan bias yang serius dan dapat mendistorsi gambaran sebenarnya tentang ketimpangan dan menghasilkan interpretasi yang menyesatkan. Kemudian bagaimana dengan angka gini ratio yang dihitung BPS sebagai lembaga statistik di Indonesia ?
Saya mengonfirmasi terkait penghitungan gini rasio BPS yang banyak ditemukan di jurnal dan beberapa keterangan publikasi pemerintah, dan hasilnya ternyata penghitungan tidak lagi menggunakan jumlah kelas pengeluaran tertentu, sehingga tidak lagi dipengaruhi oleh jumlah kelompok. Berikut saya paparkan keterangan yang didapatkan melalui silastik BPS terkait penghitungan angka gini rasio :
Pada metode terdahulu, penghitungan gini ratio
dilakukan berdasarkan kelas pengeluaran tertentu. Namun, metode tersebut tidak
lagi digunakan. Saat ini, BPS menghitung Gini Ratio langsung
menggunakan data mentah (raw data) hasil Susenas dengan field/variable pengeluaran
per kapita dari rumah tangga/responden.
1. Data rumah tangga diurutkan berdasarkan wilayah analisis dan
besaran pengeluaran per kapita dari yang terendah hingga tertinggi.
2. Bobot individu (WEIND) diterapkan untuk menghitung pengeluaran total
berbobot.
3. Pengeluaran berbobot dijumlahkan secara kumulatif untuk setiap wilayah
analisis (misalnya provinsi–kota/desa, provinsi total, nasionalkota-desa, atau nasional
total).
4. Distribusi kumulatif pengeluaran dan populasi kemudian digunakan untuk
menghitung proporsi relatif masing-masing terhadap total.
5. Nilai-nilai kumulatif tersebut kemudian dikalikan untuk tiap
record/observasi (didapatkan nilai FCIJP) dan dijumlahkan menurut wilayah
analisis (SUM_FCIJP), dan pada akhirnya nilai gini ratio didapatkan
dengan formula G = 1 - SUM_FCIJP.
Seluruh tahapan tersebut dijalankan secara otomatis menggunakan syntax SPSS,
sehingga menghasilkan nilai Gini Ratio untuk tiap wilayah analisis.
Hal ini menunjukkan bahwa penghitungan BPS telah menghindari
bias yang dijelaskan oleh Richard A. Benson. Metode
ini tidak lagi bergantung pada jumlah atau lebar kelas pengeluaran, sehingga menghilangkan kemungkinan munculnya cell bias
maupun aggregation bias yang timbul akibat pengelompokan data. Dengan
menggunakan data mentah per rumah tangga dan menerapkan bobot individu secara
langsung, metode ini memberikan representasi yang lebih akurat terhadap
distribusi pengeluaran aktual di populasi.
Terima kasih telah membaca, semoga bermanfaat, jika ada salah tulisan, kritik, pesan dan saran silakan sampaikan kepada penulis melalui kolom komentar, atau email penulis pada laman "About" blog.
Referensi :
Benson, R. A. (1970). Gini ratios: Some considerations affecting their interpretation. American Journal of Agricultural Economics, 52(3), 444-447.
silastik.bps.go.id
Referensi :
Benson, R. A. (1970). Gini ratios: Some considerations affecting their interpretation. American Journal of Agricultural Economics, 52(3), 444-447.
silastik.bps.go.id









